Dear You, This One's for You
Halo, atau masihkah aku berhak memanggilmu begitu? Haruskah aku panggil nama aslimu? Jujur aku tidak suka menyebutnya.
Apa kabarmu? Well, aku yakin kamu disana baik-baik saja. Kamu bukan pria lemah yang mudah jatuh sakit. Paling-paling kalau kena hujan kamu akan flu dan sedikit pusing. Tapi, kamu memang selalu ingusan bukan? Dan somehow kamu akan melewati semua itu.
Mungkin pertanyaan yang benar adalah, apa kabar perasaanmu? Apa kabar persaanmu kepadaku? Apakah itu rindu? Apakah itu kesal, marah, benci, sarkastik, dingin, dan kaku seperti yang biasa kamu tunjukkan padaku? Apakah kamu masih menginginkanku - menginginkan 'kita'? Ataukah kamu diam-diam sudah mempunyai yang lain? Apakah kamu masih memikirkanku? Entah hanya se-persekian detik, adakah aku muncul di kepalamu? Apakah naif kalau aku bertanya, masihkah kamu sayang kepadaku?
Masihkah kamu sayang kepadaku?
Setahun yang lalu, di bulan yang sama.
Kamu hadir. Aku tidak menginginkan hal ini samasekali. Saat itu, sama seperti saat ini. Aku sendirian, masih sepertiga dibayang-bayangi oleh 'dia' yang uhm, kamu-tau-siapa. Aku berniat melupakannya, walaupun aku tau itu sulit. Disisi lain aku nyaman denganmu. Saat itu, aku tidak ingin kehilanganmu sebagai teman baikku. Orang yang mengisi hari-hari panjang dan membosankan dalam liburan natalku. Teman bicaraku, orang yang mengerti imajinasiku, keanehan, ketidak-biasaanku. Orang yang... saat bicara dengannya aku bisa menjadi diriku. Berbicara berbagai hal. Aku tidak ingin lebih. Aku hanya ingin kau tinggal. Aku tidak ingin kau pergi. Dan kalau dengan menerima tawaranmu lewat telepon malam itu adalah satu-satunya cara agar kita tetap bersama, aku pun rela melakukannya. Tidak, aku nggak bodoh. Kamu tau saat itu aku takut. Takut terhadap fakta bawa kamu bekas temanku. Aku tidak mungkin mengambilmu begitu saja dari dia yang bahkan masih sayang kepadamu. Aku jatuh dalam permainan bodohku sendiri. Tapi, atas nama....bukan cinta. Keegoisan. Sejak itu, kamu jadi pengisi hatiku.
Aku bahkan tidak mengenalmu.
Aku jarang memperhatikanmu. Bahkan bisa dibilang, aku tidak perduli dengan keberadaanmu. Aku tentu tau tentang dirimu, kamu yang dibilang mirip Vidi Aldiano. Kamu yang dipanggil ke panggung waktu MOS. Entah dimana miripnya, entah dimana daya tarikmu, aku bahkan tidak perduli dan tidak pernah menganggapmu ada. Yang aku tau, kamu cuma lelaki egois yang menyakiti hati dua temanku. Kamu meninggalkan mereka, tanpa alasan jelas, saat mereka sayang padamu. Itulah yang membuatku akhirnya tertarik. Menyadari bahwa dua temanku berhak sadar bahwa tak pantas mereka menangis untukmu. Tidak sebutir air matapun. Aku hanya ingin tahu alasan perlakuanmu itu langsung dari mulutmu dan memberitahukannya pada mereka. Karena itu, aku mendekatimu. Perlahan tapi pasti aku mendekat, mengobrol, berharap kamu akan menunjukkan padaku muka aslimu. Namun aku salah. Seperti yang telah aku singgung sebelumnya, aku terjatuh dalam permainan licikku sendiri. Jatuh terlalu dalam.
Hujan, Yaris merah, dan obrolan kita.
Ah, kamu pasti tidak lupa dan bisa menjelaskan secara detail tentang peristiwa ini. Hari itu hujan besar. Aku pulang ekskur, seperti biasa tidak punya tumpangan, terdampar bersamamu di mobil merah yang pasti akan menjamin kita sampai dirumah dengan selamat. Kita mengobrol. Banyak hal. Aku berusaha mencari informasi lebih banyak tentangmu. Aku memutuskan ingin mengenalmu. Rasa nyaman denganmu entah muncul dari mana. Hujan terus turun, tak kunjung berhenti. Entah harus kuanggap keuntungan atau tidak, tapi aku menyukainya. Karena hujan menahanmu disana, untukku. Bisa jadi, momen kita pernah 'terperangkap' bersama saat itu tidak akan pernah aku lupakan. Dan sejak saat itu, kita lebih sering bersama. Hujan mengakrabkan kita. Semakin hari, aku semakin sadar, bahwa aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku bahkan tidak sanggup lagi melawan, dan membiarkan diriku jatuh lagi. Tanpa perduli ini salah atau benar, aku suka padamu.
Mungkin Tuhan mengizinkan aku jatuh cinta lagi.
Setelah malam itu, aku mempunyai tanggal baru yang akan selalu aku tunggu. Tanggal enambelas. Aku tidak tau kemana hubungan ini terarah, atau bagaimana kita akan berakhir. Aku tidak perduli. Yang aku inginkan adalah bersamamu. Apapun rintangannya, apapun masalah yang kita hadapi, apapun anggapan orang tentangmu atau tentang diriku, persetan. Aku samasekali tidak perduli. Kamu temanku, pacarku, pemberi semangatku, kamu segalanya saat itu. Yang aku tahu, aku butuh kamu, kamu butuh aku. Kamu sayang aku, aku sayang kamu. Hari-hari kita tidak selalu baik. Aku dihantui berbagai macam ketakutan dan keraguan saat bersamamu. Aku takut dengan sikapmu yang mudah bosan, aku takut kamu belum menyelesaikan cintamu yang terdahulu. Aku takut kamu memperlakukanku seperti kamu memperlakukan teman-temanku sebelumnya. Aku tidak mau bernasip sama seperti mereka. Dalam segala ketakutan dan keraguanku, kamu meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa aku tidak akan seperti mereka. Aku berbeda, katamu. Saat itu, entah sihir apa yang kamu gunakan, aku memang merasa kita akan baik-baik saja. Dan saat itu aku tahu, mungkin kamulah yang terbaik buat aku.
I want to go on adventure with you.
Entah sudah berapa tempat kita datangi, mulai dari yang jauh sampai yang dekat. Laut, museum, taman hiburan, mall, bioskop, jalan-jalan, rumah hantu, Jakarta Fair, dapatkah kita mengulanginya lagi? Berapa puluh film yang kita tonton? Dari menonton Happy Feet sampai....aku lupa apa film terakhir yang kita tonton. Musim apa saja yang kita lalui bersama? Ah, aku mulai sok novelis. Jelas hanya musim hujan dan panas, itulah kenyataan pahit yang harus kutelan karena hidup di negara bermusim dua. Selebihnya? Mungkin musim fixie, musim bermain PES, musim duren, musim layangan, musim angin, entahlah? Apa saja yang kita lakukan? Berlari? Melompat? Tertawa? Satu hal yang aku ingin tau, akankah ini terulang lagi? Atau, masihkah aku bisa berpetualang denganmu lebih jauh dari ini?
The voice I'd like to hear.
Setiap malam, aku selalu menunggu satu hal. menunggumu untuk meneleponku. Apa yang aku tunggu? Cuma suaramu itu saja. Kita tidak akan bercerita terlalu banyak, karna memang kita sudah melakukannya di sekolah. Aku cuma ingin mengakhiri hari dengan mendengarmu berkata "Goodnight" diujung sana. The most beautiful lullaby I've ever heard.
Bulan demi bulan berlalu.
Rekor pacaran paling lama kita berdua sama, lima bulan. Suka atau tidak, lima bulan pertama kita memang menyenangkan. Enam bulan sesudahnya adalah....bencana? Terserahmu mau dibilang apa. Pertengkaran, tangis, semua seperti mentertawakan hubungan kita. Masalah-masalah kecil, argumen-argumen kita, semua seperti selalu ada. Aku bersyukur kalau ada satu hari dimana aku tidak berkelahi denganmu. Entah itu disekolah, ata di chat. Aku bersyukur kalau kamu tidak menghindariku dan aku tidak perlu menghindarimu. Aku bersyukur kalau kamu tidak perlu menggenggam tanganku dengan erat supaya aku tidak pergi dan kamu bisa jelasin semuanya. Aku bersyukur kalau aku juga nggak perlu mengemis-ngemis maaf padamu. Namun, Vice Versa. Pertengkaran kita semakin hebat. Putus nyambung menjadi pilihan terakhir kita. Entah sudah berapa kali aku mengusirmu. Memutuskanmu begitu saja. Meninggalkanmu dalam kebingunganmu, dalam masalah kita. Membuatmu sedih, membuatmu terluka, aku bahkan tak ingat. Aku tidak ingat berapa kali sudah aku mencacimu, mengatakan kamu jahat. Mengabaikanmu, tidak menghargaimu, menganggapmu tak ada. Menyuruhmu menyerah terhadapku. Aku tidak ingin benar-benar melalukannya. Aku tidak ingin kamu menyerah terhadapku, walaupun aku berkali-kali mencoba mendorongmu untuk menjauhiku. Dan, disanalah kamu. Berdiri dengan segala kekuatan entak darimana. Tetap berdiri disisiku, menyayangiku dari awal lagi setelahh kata maaf pada akhirnya keluar dari mulutku. Aku tidak mengerti mengapa kamu bisa begitu. Aku merindukan dirimu yang seperti itu...
Bisakah aku kembali pada waktu itu dan menampar diriku yang begitu jahat terhadapmu?
Pain makes people changes.
Pada akhirnya, situasi dan waktulah yang memenangkan hubungan ini. Seiring berjalannya waktu dan argumentasi kita tentang apa-yang-salah-dan-apa-yang-benar, perlahan kita berdua mulai berubah. Hati kita yang terlanjur sakit, kini sudah mulai mati rasa. Aku sadar akan hal itu. Dan semakin hari bertambah banyak, bulan terus bergulir, bumi terus berputar, kamu dan aku sama-sama berubah. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Tapi apa daya, kita seperti berlari dalam lingkaran setan. Entah berapa lama lagi kita bisa bertahan, atau paling tidak, berapa lama lagi aku bisa menahanmu untuk tetap berada disisiku?
Dan ternyata, tidak lama.
Dalam sekejap, kamu sudah bukan milikku. Aku mungkin bisa gila saat itu. Kerjaku hanya menangis, tidak makan. Kulakukan itu setiap hari. Saat melihatmu aku sakit, lalu menangis. Dikamar, aku kembali menangis. Aku mendekat, kamu menjauh. Membentak, mengusir, aku nyaris tidak mengenalmu. Kalau kutanya apa alasanmu bersikap seperti ini, mengapa kamu tidak bisa kembali, kamu dengan sinis berkata bahwa kita tidak akan bisa seperti dulu lagi. Hatimu mengeras. Kamu berubah menjadi sosok yang dingin. Kamu semakin menjauh, dan aku sadar bahwa tanganku tidak akan bisa menggapaimu lagi. Kakiku sudah tidak kuat mengejarmu yang semakin menjauh dariku. Aku cuma bisa menangis, terdiam, aku berhenti tertawa, aku tidak lagi tersenyum, tidak banyak bicara dan bercanda. Malam hari menjadi waktu tersulit bagiku. Aku tidak bisa tidur dan dihantui mimpi buruk. Pagi haripun aku sulit untuk bangun. Semesta seolah menertawakanku, seperti menghujamiku dengan bongkahan batu. Sakit melihatmu nampak baik-baik saja. Tampak tidak ada apa-apa. Sementara aku disini hidup seperti zombie. Aku tidak bahagia. Aku kehilangan kebahagiannku. Bahkan aku tidak mengerti, kehilangan dirimu bisa berdampak sebegini besar terhadapku?
Enambelas Desember tahun ini, dan entah sampai kapan.
Seharusnya ini hari yan kutunggu. Kita merayakan satu tahun kebersamaan kita, sebagai kekasih. Tapi disinilah kita. Terdiam, membisu, membusuk dalam sakit hati dan kebencian masing-masing. Kita kembali, kembali ke awal. Yang kumaksudkan awal disini adalah, aku dan kamu kembali menjadi lo gue. Dua orang yang tidak saling mengenal. Dua orang yang menjalani hidup masing-masing. Aku zombie, kamu manusia. Dua orang yang sama-sama berjuang melupakan apa yang dulu disebut sebagai 'kita'.
Dua orang yang berjuang melawan rasa yang sama. Rasa rindu itu. Rasa ingin memiliki itu. Rasa yang dulu kita anggap benar, namun sekarang terasa salah.
"Udah gaakan bisa lagi. Semua udah ancur. Sia-sia aja. Percuma kalo kita putus, balikan, ujung-ujungnya begini lagi."
"Kenapa kamu nyerah? Kamu pengen negbuang semua yang udah kita jalanin gitu aja?"
"Dulu aku gak nyerah. Sekarang udah abis. Terserah aja."
Terserah aja.
Ini buat kamu.
Kenapa harus ditulis? Kenapa nggak langsung diomongin? Karena untuk meminta lima menit bicara serius denganmu tentang perasaan kita adalah hal tersulit di dunia ini. Bahkan plus ekstra bumbu air mata sekalipun.
Mungkin aku bukan yang terbaik. Aku tahu. Aku bukan yang paling cantik, paling sexy, aku bukan yang paling pintar, paling kaya, aku nggak sempurna. Aku manja, egois, cengeng, penakut, bossy, semaunya, pencemburu, mudah marah, suka mengatur, melarang ini dan itu. Suka bertindak tanpa berpikir. Orang sepertiku, mungkin tidak pantas buatmu. Aku nggak mau jadi penghalang kebahagiaanmu. Melihatmu terluka karena aku, menangis, atau marah, semua karena aku, aku tidak mampu dan tidak mau. Aku senang dan lega melihatmu tertawa, senang, walaupun bukan aku alasannya.
Aku pasti akan merindukanmu. Merindukan 'kita'. Aku akan rindu punggung nyaman yang enak disandari, enak buat dipeluk. Tangan kokoh yang enak untuk diapit, aku akan rindu sentuhannya. Bibirmu yang mengecupku lembut, pipimu yang tembem, senyumanmu, gigimu, tawamu, tingkah konyolmu, kelakuan anehmu, marahmu, caramu mengaturku, pelukanmu, kecupanmu, suaramu, sapaanmu, kamu yang menungguku dikelas, kamu yang berdiri disampingku, kamu yang berjalan disampingku, semua obrolan kita, perjalanan kita. Aku sadar semua itu akan hilang dan aku akan merindukannya. Aku akan rindu menghambur padamu saat melihat punggung kokoh itu, menyapamu, tertawa bersamamu, aku pasti akan merindukannya.
Dan aku tidak dapat melakukan apapun untuk membawanya kembali. Kamu terlalu jauh untuk digapai. Kamu sudah terbang terlalu tinggi, tanpa kamu sadari bahwa aku bahkan tidak mempunyai sayap untuk mengejarmu.
Tapi, aku tidak ingin kamu kembali.
Kalau kita bersama, yang ada mungkin hanya luka. Aku percaya dengan atau tanpaku, kamu bakal baik-baik saja. Itulah doaku setiap malam. Aku tidak lagi memohon agar kamu kembali padaku. Aku berharap kamu bisa mendapatkan orang lain. Dia yang menyayangimu sebesar aku menyayangimu. Dia yang akan menjagamu, dia yang tidak akan pernah melukaimu, dia yang akan selalu ada buatmu. Kebahagiaanmu, itu yang aku harapkan. Mungkin akan sakit rasanya melihatmu membagi semua yang pernah kamu berikan untukku pada orang lain. Namun aku yakin, aku pasti bisa melaluinya.
Dan doaku yang lain adalah, agar aku bisa berhenti sayang kepadamu
Agar aku bisa merelakanmu pergi. Membiarkanmu terbang kemanapun yang kamu mau. Membiarkanmu menggapai segalanya. Membiarkanmu untuk bahagia. Dan bahagiamu mungkin bila kamu sudah tidak bersamaku, yaitu dari hari ini dan entah sampai kapan. Membiarkan kisah kita berlangsung terus sebagaimana adanya. Karena kamu akan selalu menjadi bagian dalam ceritaku, walaupun mungkin aku bukan menjadi bagian didalamnya lagi.
So here I am. I'm letting you fly, and I'll stop looking at the sky. 'Cause you'll never come back, and you better don't. But I'll still love you no matter what, and I'm not asking you to love me back. 'Cause I know, you already did...
Thanks for the great adventure! Thanks for being my hardest goodbye. Keep on going! Lanjutin petualangan kamu, dan aku disini ngelanjutin punyaku juga. Dan kita bikin cerita kita makin indah, dan berakhir bahagia
Dari aku, buat kamu.
- Aku, yang bakal selalu sayang kamu.
Komentar
Posting Komentar