Hukum Kekekalan

Bahwasannya tidak ada sesuatu pun yang kekal diatas bumi ini, kecuali yang bernama kasih.



Hari ke-7. 

Malam memang selalu bisa menjadi teman yang baik, walaupun tidak jarang dia menusuk dari belakang. Seperti pada malam yang membawanya pergi jauh, terbang pergi ke negeri yang tidak pernah ada. Malam pulalah yang dengan lembut mendekapnya, membawanya pulang. Memberikan kembali sesuatu yang hilang, mengembalikannya sedikit demi sedikit. Malam menyeka air mata di pipi ini dengan saputangan hitamnya yang halus tanpa  pernik bintang. Malam yang membisikkan dongeng manis pengantar tidur, sebuah lullaby yang membuai dan menenangkan. Seperti saat malam membisikkan semua ketakutan dan lagu pilu patah hati yang mendengung keras di telinga, mendatangkan mimpi buruk yang terus berputar-putar di kepala.

Entah ini bisa disebut kembali atau tidak. Rasanya pertanyaan mainstream seperti "Apa kabar" hanya akan menyita waktu malam kita. Dimana akupun selalu tahu bahwa kabarmu baik-baik saja."Bagaimana penjelajahanmu?" pertanyaan ini akan dirasa lebih tepat. Apakah kamu memutuskan untuk kembali dan menetap seperti yang seharusnya, atau aku hanya menjadi tempatmu melabuh sementara, akan jauh lebih tepat. Dengan mengesampingkan semua pertanyaan, semua bisikan malam yang mulai kembali datang, dan keinginanku agar kau menetap, disini aku mendengarkan semua celotehanmu tentang kekekalan. Aku terlalu lelah untuk berpikir, tapi tidak untukmu. Aku lelah untuk mencerna, tapi tidak untukmu. Apalagi aku sadar bahwa malam akan membantuku mengerti tentang semuanya. Termasuk memahami tentang kekekalan itu sendiri-kekekalan yang tidak kekal dan membuat perutku nyaris mulas. Meneriakkan sirene kewaspadaan akan kehilangan kembali.

Bahwa mungkin, kau sama tidak kekalnya dengan jepitan rambut yang kubeli beberapa waktu lalu, tank top bunga-bunga favoritku, celana kesayanganku. Kau sama tidak kekalnya dengan rumput di siang hari, embun di pagi hari, dan kerlip bintang di malam hari. Hari ini mungkin kau hanya berlabuh karena kau lelah terus menerus berlari dan berlayar. Kau jatuhkan jangkar di dasar yang paling dalam, dan kau tidur di peraduan. Di sana aku menatapmu terlelap. Membisikkan kata-kata betapa besarnya rindu itu kepadamu. Memelukmu yang sedang bermimpi lewat mataku. Sambil kepalaku terus berputar, meyakinkan hatiku agar tidak jatuh kepada yang mungkin hanya perangkapmu lagi. 

Aku sadar detik jam kian berputar. Aku tidak bisa menyia-nyiakan kedatanganmu kembali. Mungkin hanya untuk malam ini. Mungkin tidak lama. Entahlah, aku tidak berani membayangkan akan ditinggal lagi olehmu. Aku harus kembali berdua dengan malam-malam panjang yang semakin menyiksa setiap harinya.

Di tengah malam yang semakin pekat, menyibakkan selimutnya dengan angkuh, disana kau bercerita tentang kekekalan yang sesungguhnya tidak ada. 

Aku tersenyum. Menatapmu dalam diam. Aku tidak menyesal bahwa kau tidak abadi. Kita tidak abadi. Bagimu memang semua tidak abadi. Tapi sesuatu bernama kasih, yang menyelip diantara malam, aku percaya dia akan selalu kekal untuk selamanya. Bahwasannya aku terlalu mengasihimu, walaupun segala sesuatu yang terlalu itu tidak baik, bukan? Tapi biarlah kasih yang memperbaiki semuanya.

Karena hanya dia yang bersifat kekal di alam ini. Energi. Kasih.

Komentar